Pada tanggal 1 Juli, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menerapkan kebijakan baru terkait pemungutan pajak atas fasilitas mobil yang diterima oleh pekerja dengan gaji sebesar Rp100 juta per bulan. Kebijakan ini diatur dalam PMK Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh Dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan.
Menurut DJP, mobil yang diterima oleh pegawai yang tidak memiliki penyertaan modal dalam perusahaan akan dikenai pajak. Selain itu, persyaratan untuk dikenai pajak ini adalah gaji bruto rata-rata dalam setahun terakhir sebesar Rp100 juta per bulan.
Hestu Yoga Saksama, Direktur Peraturan Perpajakan I di Kantor Pusat DJP Kemenkeu, menjelaskan bahwa jika mobil tersebut diberikan kepada karyawan dan namanya diubah menjadi milik karyawan, maka tidak akan ada penyusutan. Namun, jika mobil tersebut tetap menjadi milik perusahaan dan digunakan oleh pegawai atau direktur dengan gaji di atas Rp100 juta, maka akan ada penyusutan dan biaya operasional yang akan ditanggung oleh perusahaan setiap tahunnya.
Yoga menekankan bahwa ketika mobil tersebut diberikan dan namanya diubah menjadi milik karyawan, tidak ada perbedaan dalam pelaporan dibandingkan dengan pemotongan pajak penghasilan (PPh) 21 pada umumnya. Pemberi kerja harus mencatat dan melaporkan pajak yang dipotong dalam Surat Pemberitahuan (SPT) PPh 21. Sebagai contoh, jika dalam bulan ini karyawan menerima fasilitas berupa mobil, maka harus ditentukan berapa jumlah pajak yang harus dipotong.
“Jadi, bagi pemberi kerja, ini mirip dengan pemotongan gaji. Namun, dalam hal ini, dihitung berapa jumlah PPh yang harus dipotong setiap bulannya. Penerima fasilitas tersebut akan menerima bukti potongan, seperti halnya menerima gaji setiap bulan, dan hal ini akan dilaporkan dalam SPT tahunan,” jelas Yoga.