Dikabarkan bahwa Pakar hukum Universitas Mulawarman Makassar, Herdiansyah Hamzah tak kaget sama sekali dengan pernyataan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA), Sunarto. Ia menyebut praktik jual beli perkara oleh para makelar kasus sudah menjadi rahasia umum. Menurut Castro, sapaan akrabnya, pernyataan Sunarto mengonfirmasi desas-desus praktik culas di lingkungan peradilan selama ini. Pernyataan itu sekaligus menguatkan sistem pengawasan internal di MA tak ampuh.
“Karena itu, penting untuk menguatkan desain pengawasan eksternal MA secara ketat dari hulu ke hilir,” kata Castro saat dihubungi pada Minggu, 11 Desember.
Model pengawasan tersebut bisa dilakukan mulai dari pengawasan seleksi hakim melalui komisi yudisial, sistem pengaduan (whistle blowing system) yang transparan dan mudah diakses oleh pelapor, hingga penegakan hukum terhadap sindikat markus di lingkungan Mahkamah Agung.
Namun kata dia, pengawasan itu hanya bisa dilakukan jika MA terbuka dan permisif. Masalahnya, kata Castro, MA belakangan justru menunjukkan sikap antikritik dengan melibatkan TNI untuk menjaga sidang dan gedung mereka. Dia juga mengkritik Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh yang dinilai tidak kooperatif usai ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut dia, kasus Sudrajat dan Gazalba mestinya menjadi momentum untuk mengungkap praktik jual beli kasus di MA dan bagaimana modus makelar kasus bekerja. Namun, hal itu membutuhkan sikap kooperatif dan terbuka MA.
Sebab, para mafia kasus tidak bisa diberantas hanya dengan keluhan. Tapi harus dengan cara membangun kerja sama baik dengan lembaga negara lain, seperti KPK, KY, maupun publik secara umum.
Membangun Integritas SDM di Lingkungan Mahkamah Agung?
Pakar hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Wiwik Budi Wasito, mengamini praktik para mafia kasus telah menjadi tradisi dalam sistem peradilan di Indonesia. Dia mengatakan praktik jual beli kasus telah menjadi bahan obrolan sejak dulu di warung kopi. Publik menganggap setiap orang yang mau berperkara harus menyiapkan sejumlah yang jika ingin memenangkan perkaranya. Jika tidak, masyarakat tak akan bisa mendapat keadilan dari lembaga peradilan.
“Kalau mau seberapa parah hitungannya kalau saya itu adalah cerita dari dulu seperti itu. Udah ada. Bahkan udah sangat terkenal,” kata Wiwik, Senin (12/11).
Wiwik menilai tradisi praktik culas itu terus bertahan karena umumnya para hakim dan pegawai di lingkungan peradilan memang tak memiliki integritas. Kondisi itu membuat semua sistem pengawasan tak akan berguna. Wiwik juga mengamini pernyataan Sunarto bahwa untuk menghilangkan sepenuhnya para mafia kasus rasanya mustahil. Kecuali, hanya meminimalisasi ruang gerak mereka.
Menurut dia, selain membangun sistem yang transparan, Mahkamah Agung juga perlu membangun integritas di lingkungan peradilan. Bukan hanya dari kemampuan intelektual, tetapi juga dari mentalitas dan rekam jejak. “Membangun kesadaran kebanggaan bahwa menjadi orang yang bersih itu lebih terhormat daripada menjadi orang yang gampang disuap,” kata Wiwik.
“Orang bilang kalau digaji gede akan meminimalisir. Tidak juga. Ada juga yang udah digaji gede tetap menerima suap. Hal-hal semacam itu yang perlu ditanamkan kepada setiap insan di lembaga tersebut,” ujarnya soal permasalahn seputar Mahkamah Agung.