Negara-negara anggota ASEAN telah meresmikan Digital Economic Framework Agreement (DEFA), suatu perjanjian yang diharapkan akan menggerakkan ekonomi digital di kawasan ini. DEFA diproyeksikan akan menggandakan nilai ekonomi digital ASEAN menjadi US$2 triliun, atau setara dengan Rp30.374 triliun (dengan kurs Rp15.187) pada tahun 2030. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto berharap bahwa implementasi DEFA dapat dimulai pada tahun 2025 setelah melalui dua tahun negosiasi dan harmonisasi berbagai aspek sebelum benar-benar diterapkan.
“Airlangga menjelaskan, ‘Jika DEFA diterapkan pada tahun 2025, ini akan meningkatkan potensi ekonomi digital ASEAN dari sekitar US$1 triliun seperti biasa menjadi US$2 triliun pada tahun 2030’,” ujar Airlangga dalam konferensi pers usai peluncuran DEFA di Hotel St. Regis, Jakarta pada Minggu (3/9/2023).
Terdapat sembilan isu utama yang terkait dengan DEFA yang akan didorong, termasuk persiapan infrastruktur, sumber daya manusia (SDM), ekosistem di masing-masing negara ASEAN, hingga retraining dan reskilling. Dari sembilan isu tersebut, sekitar 46 poin perlu diharmonisasi, termasuk yang berkaitan dengan regulasi aliran data.
Airlangga menjelaskan, “Regulasi ini mengacu pada semua perjanjian yang sudah ada, termasuk Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan perjanjian lainnya, sebagai landasan, sehingga perubahan yang timbul akibat transformasi seperti kecerdasan buatan (AI), blockchain, dan lainnya, akan masuk dalam cakupan yang akan dibahas dalam DEFA.”
“DEFA memiliki perspektif jangka panjang, dan studi mendalam telah dilakukan oleh Sekretariat Jenderal ASEAN dan timnya,” tambahnya. DEFA dipandang sebagai langkah penting dalam meningkatkan integrasi ekonomi digital regional. Dengan adanya perjanjian ini, diharapkan akan mendorong investasi, merangsang inovasi, meningkatkan produktivitas, menciptakan lapangan kerja berkualitas, dan memberdayakan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).