Industri petrokimia Indonesia kini menghadapi tantangan serius akibat kebijakan baru pemerintah. Aturan relaksasi impor dalam Permendag No. 8 Tahun 2024, yang berlaku sejak 17 Mei 2024, memicu kekhawatiran besar di sektor ini. Sekretaris Jenderal Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono menegaskan bahwa kebijakan tersebut berpotensi mengancam investasi sebesar US$27 miliar atau Rp437,4 triliun.
Fajar Budiono menyatakan bahwa industri petrokimia paling terdampak karena aturan baru ini membuka keran impor secara luas, khususnya untuk produk tekstil dan plastik jadi.
“Pemerintah membuka keran impor seluas-luasnya seperti TPT (benang, kain, pakaian jadi) dan barang jadi plastik, membuat industri petrokimia semakin terpuruk,” ujarnya dalam diskusi media di Gedung Kemenperin, Senin (8/7).
Industri petrokimia hulu berada pada kondisi terburuk sepanjang sejarah, lebih parah dibandingkan saat pandemi Covid-19. Penurunan kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) berdampak langsung pada melemahnya produksi petrokimia. Beberapa pabrik bahkan terpaksa ditutup, dan utilisasi industri polyester hanya mencapai 50 persen, titik kritis untuk mempertahankan operasional pabrik.
Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reny Yanita, menambahkan bahwa Permendag No. 8/2024 berpotensi menghilangkan investasi di industri petrokimia hingga US$27 miliar. Beberapa investor mempertimbangkan untuk mundur jika aturan relaksasi impor tidak direvisi. Hal ini mengancam target investasi sebesar US$31,41 miliar yang diharapkan masuk ke industri petrokimia hingga 2030.
Berdasarkan data Kemenperin, ada enam perusahaan yang berencana berinvestasi di industri petrokimia. Namun, hanya dua yang sudah berjalan, sementara sisanya masih dalam tahap wait and see. Dua perusahaan yang investasinya sudah berjalan adalah PT Lotte Chemical Indonesia dengan nilai US$4.000 juta dan Pertamina-Polytama Propindo 2 dengan nilai US$322 juta.
Sedangkan investasi yang tertunda meliputi PT Chandra Asri Perkasa (US$5.000 juta), PT Sulfindo Adiusaha (US$193 juta), Olefin TPPI Tuban (US$3.900 juta), dan PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (Proyek GRR Tuban) (US$1,8 miliar).
Reny berharap aturan ini dapat direvisi atau dikembalikan ke Permendag No. 36/2023, sehingga investasi yang masih tertunda dapat berlanjut.
“Jika tidak dibarengi dengan kebijakan impor yang tepat, mungkin beberapa puluh tahun lagi kita akan kehilangan investasi ini, atau bahkan mereka beralih ke negara tetangga kita di ASEAN,” pungkasnya.
Demikian informasi seputar ancaman terhadap industri petrokimia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Indopreneur.Org.