Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) tengah mengkaji kembali penerapan pajak kripto guna meningkatkan daya tarik pasar kripto Indonesia. Langkah ini diambil demi memastikan bahwa investor hanya akan dikenai setengah dari total pajak yang berlaku saat ini, sehingga dapat mendorong lebih banyak pihak untuk terlibat dalam pasar kripto yang tengah berkembang pesat di Tanah Air.
Menurut Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti, Tirta Karma Senjaya, evaluasi tersebut menjadi penting mengingat adanya kebutuhan untuk mengurangi beban pajak yang saat ini diterapkan pada investor kripto. “Kami berharap bahwa dengan mengurangi pajak yang dikenakan saat ini, investor akan lebih tertarik untuk berpartisipasi dalam pasar kripto Indonesia,” ujar Tirta.
Langkah ini juga diperlukan untuk menjaga pertumbuhan pasar kripto domestik yang baru-baru ini mulai berkembang pesat. Regulasi pajak kripto yang berlaku saat ini dinilai dapat meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh investor, sehingga perlu dievaluasi secara menyeluruh.
Tirta juga menekankan perlunya keterlibatan semua pemangku kepentingan, termasuk Bappebti, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, asosiasi, serta para pelaku pasar. Evaluasi ini diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan terkait penyesuaian nominal pajak yang dapat memenuhi harapan semua pihak.
Dari data yang dihimpun, pajak yang diperoleh dari transaksi kripto telah berhasil menambah pendapatan negara sekitar Rp259 miliar. Pajak ini juga telah berkontribusi lebih dari 50 persen terhadap pendapatan industri fintech.
Namun, pengenaan pajak kripto yang cukup tinggi terhadap pelaku pasar kripto di Indonesia telah memicu beberapa dampak negatif, seperti pengalihan transaksi ke pasar luar negeri. Direktur Eksekutif Asparkrindo, Asih Kerniangsih, mengatakan bahwa penyesuaian peraturan pajak sangat diperlukan untuk mencegah hal tersebut, karena dapat berdampak pada daya saing bursa kripto dalam negeri.
Menurut CEO Indodax, Oscar Darmawan, saat ini terdapat beberapa jenis pajak yang dikenakan terhadap aset kripto di Indonesia, termasuk Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan biaya tambahan untuk bursa, deposito, dan kliring. “Jumlah total pajak yang harus dibayarkan oleh investor menjadi mahal dan berpotensi mematikan industri kripto di Indonesia,” ungkap Oscar.
Oscar menegaskan bahwa untuk meningkatkan daya saing pasar kripto dalam negeri, pengenaan PPN perlu dihapuskan sehingga aset kripto hanya dikenai PPh. “Karena kripto akan menjadi bagian dari industri keuangan, maka tidak tepat jika masih dikenakan PPN. Harapannya, pajak yang dikenakan bisa ditetapkan sebesar 0,1 persen,” tambahnya.
Sebagai upaya untuk memperkuat posisi pasar kripto Indonesia dalam kancah global, evaluasi penerapan pajak kripto menjadi langkah yang strategis untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil dapat mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan serta menjaga kepentingan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem pasar kripto Indonesia.
Demikian informasi seputar kebijakan pajak kripto di Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Indopreneur.Org.