Dikabarkan Bupati Meranti M Adil mengungkapkan bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berisi iblis dan setan gegara dana bagi hasil (DBH). Adil meluapkan emosinya kepada Direktur Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lucky Alfirman. Pertanyaan itu ia lemparkan saat koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah di Pekanbaru pada Kamis, 9 Desember.
Ia kesal karena merasa tidak mendapat kejelasan terkait DBH yang mestinya diterima. Ia menilai Meranti layak mendapat DBH minyak dengan hitungan US$100 per barel. Namun, menurutnya, pada 2022 ini DBH yang diterima hanya Rp114 miliar dengan hitungan US$60 per barel. Ia mendesak Kemenkeu agar DBH yang diterima menggunakan hitungan US$100 per barel pada 2023 mendatang.
“Kemarin waktu zoom dengan Kemenkeu tidak bisa menyampaikan dengan terang. Didesak, desak, desak barulah menyampaikan dengan terang bahwa US$100 dollar per barel,” katanya, dikutip dari detikcom.
“Sampai ke Bandung saya kejar Kemenkeu, juga tidak dihadiri oleh yang kompeten. Itu yang hadiri waktu itu entah staf atau apalah. Sampai pada waktu itu saya ngomong ‘Ini orang keuangan isinya ini iblis atau setan’,” sambung Adil.
Ricuh Kemenkeu dengan Bupati Meranti soal Dana Bagi Hasil?
Pernyataan Bupati Meranti itu mendapat respons dari anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani, Stafsus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mendesak permintaan maaf Adil. Tak hanya Yustinus yang memprotes ucapan Adil, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari menyebut Bupati Meranti mengucapkan hal yang tidak pantas. Menurutnya, Adil yang melabeli pegawai Kemenkeu setan dan iblis telah melukai perasaan.
Terlepas dari ribut-ribut Bupati Meranti M Adil dengan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), mari mengenal DBH yang menjadi akar keributan dan bikin ucapan bernada hinaan tersebut keluar dari seorang pejabat daerah.
Mengutip UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Bagi Hasil merupakan bagian dari dana transfer ke daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan daerah, serta kepada daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
DBH dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan pemberian DBH adalah untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.
Pembagian DBH dilakukan berdasarkan dua prinsip, yakni by origin dan based on actual revenue. Prinsip yang disebut terakhir artinya penyaluran DBH berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan.
DBH terbagi menjadi dua jenis utama, yakni DBH pajak dan sumber daya alam (SDA). DBH pajak terdiri dari DBH Pajak Bumi dan Bangunan (DBH-PBB), DBH Pajak Penghasilan (DBH-PPh), dan DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT).
Sementara itu, DBH dari sumber daya alam meliputi dana bagi hasil kehutanan, mineral dan batu bara, minyak bumi dan gas bumi, pengusahaan panas bumi, dan perikanan. Dalam kasus keributan Bupati Meranti dan Kemenkeu, Adil menemukan adanya perbedaan hitungan DBH dari hasil minyak bumi di Meranti.
“Hari ini pak, saya kejar lagi bapak ke sini (Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lucky Alfirman). Saya mau tahu kejelasannya, apakah penyusunan APBD 2023 pakai asumsi yang mana, US$60 atau US$80 yang bapak sampaikan atau 100 dolar sesuai pidato Pak Jokowi yang benar. Ini ada tiga saya cermati tadi,” kata Adil.
Emosi Adil makin memuncak hingga akhirnya ia minta diberikan surat agar tak ada lagi pengeboran minyak di Meranti. Menurutnya, tak masalah jika daerahnya tidak ada pengeboran minyak bumi. Menurutnya, saat ini ada 13 sumur minyak yang dibor sepanjang tahun ini. Sementara tahun depan akan bertambah menjadi 19 sumur dengan target 9.000 barel/hari.
“Saya berharap nanti bapak keluarkan surat untuk penghentian pengeboran minyak di Meranti. Jangan diambil lagi minyak di Meranti itu, nggak apa-apa, kami juga masih bisa makan. Dari pada uang kami dihisap sama pusat,” kata Adil tegas.
Lebih jauh, ia memaparkan data bahwa di Riau memiliki populasi 25,68 persen orang miskin plus ekstrem. Sebagian besar di antaranya berada di Meranti. Melihat data ini, Adil mempertanyakan pada Kemenkeu yang hanya mengebor minyak di Meranti namun dianggap tidak memberikan dana bagi hasil sesuai.
Sementara itu, Stafsus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo memastikan bahwa bahwa Transfer ke Daerah (TKD) Kabupaten Meranti 2023 sudah dilakukan dengan ketentuan UU Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“Total alokasi DBH Kab. Kepulauan Meranti adalah Rp207,67 M (naik 4,84 persen dari 2022) dengan DBH SDA Migas Rp115,08 M (turun 3,53 persen). Ini dikarenakan data lifting minyak 2022 dari Kemen ESDM menunjukkan penurunan dari 2.489,71 ribu menjadi 1.970,17 ribu barel setara minyak. Jadi basisnya resmi,” papar Yustinus di akun twitter pribadinya (@prastow) pada Minggu, 11 Desember.
Menurut Yustinus, penurunan lifting ini akan berpengaruh pada dana bagi hasil Migas yang diberikan pada Kabupaten Meranti 2023 mendatang. Ia pun meminta agar pemerintahan Bupati Adil memikirkan terobosan untuk meningkatkan lifting di Meranti.